credit |
“Nak tolong ambilkan ibu
air minum di botol itu,” ibu menyuruhku sambil menunjuk di letak botol
tersebut.
Aku memberikan botol
tersebut pada Ibu. Kulihat Ibu sangat letih. Berdua kami membangun jembatan
ini. Sebenarnya aku tak tega melihat ibu bekerja membangun jembatan ini, aku
sudah katakan padanya biarlah nanti saya yang kerjakan jika saya besar. Waktu itu
umurku masih 3 tahun.
“Bu, kenapa Ibu
bersusah-payah buat jembatan seperti ini?” aku coba bertanya.
“Buat kamu nak, supaya kelak jika masuk sekolah kamu
tidak usah memutar lagi di balik bukit, ” kata Ibu.
Sejak kami diusir dari
kampung oleh warga akibat fitnah terhadap keluargaku. Kami sekeluarga, aku,
ayah dan ibu, mengungsi ke hutan untuk mencari tempat tinggal. Beberapa bulan yang lalu ayah dijemput
segerombolan orang yang aku tak kenal dan hingga hari ini tidak ada kabar tentang ayahku.
***
“Nak kamu menangis?”
Ibu yang tengah duduk di
kursi roda menoleh ke belakang dan melihatku meneteskan airmata.
Hari ini aku membawa Ibu dimana dulu kami bersusah payah membangun
jembatan. Jembatan itu kini telah dipenuhi lumut. Sudah tidak digunakan lagi
karena sejak 15 tahun lalu pemerintah sudah membangun jembatan permanen.
“Saya ingat jembatan itu
bu, jembatan yang membantu saya untuk melewati sungai ini demi menuntut ilmu”
kataku lirih.
“Kamu sudah jadi doktor,
kok masih cengeng gitu” kata Ibu bercanda.
Aku memeluk Ibu. Seorang
wanita yang telah menjadi jembatan kesuksesanku.
(Bunda.!! Engkau "jembatan" kesuksesan anakmu)
manis.
ReplyDeletetapi perlu digambarkan sekilas 'kasus' yang menimpa keluarga malang ini.