Saturday 6 July 2013

jembatan sebuah kesuksesan

 
credit

“Nak tolong ambilkan ibu air minum di botol itu,” ibu menyuruhku sambil menunjuk di letak botol tersebut.

Aku memberikan botol tersebut pada Ibu. Kulihat Ibu sangat letih. Berdua kami membangun jembatan ini. Sebenarnya aku tak tega melihat ibu bekerja membangun jembatan ini, aku sudah katakan padanya biarlah nanti saya yang kerjakan jika saya besar. Waktu itu umurku masih 3 tahun.

“Bu, kenapa Ibu bersusah-payah buat jembatan seperti ini?” aku coba bertanya.

“Buat  kamu nak, supaya kelak jika masuk sekolah kamu tidak usah memutar lagi di balik bukit, ” kata Ibu.

Sejak kami diusir dari kampung oleh warga akibat fitnah terhadap keluargaku. Kami sekeluarga, aku, ayah dan ibu, mengungsi ke hutan untuk mencari tempat tinggal.  Beberapa bulan yang lalu ayah dijemput segerombolan orang yang aku tak kenal dan hingga hari ini tidak ada kabar  tentang ayahku.

***
“Nak kamu menangis?”

Ibu yang tengah duduk di kursi roda menoleh ke belakang dan melihatku meneteskan airmata.

Hari ini aku membawa Ibu  dimana dulu kami bersusah payah membangun jembatan. Jembatan itu kini telah dipenuhi lumut. Sudah tidak digunakan lagi karena sejak 15 tahun lalu pemerintah sudah membangun jembatan permanen.

“Saya ingat jembatan itu bu, jembatan yang membantu saya untuk melewati sungai ini demi menuntut ilmu” kataku lirih.

“Kamu sudah jadi doktor, kok masih cengeng gitu” kata Ibu bercanda.

Aku memeluk Ibu. Seorang wanita yang telah menjadi jembatan kesuksesanku.




(Bunda.!! Engkau "jembatan" kesuksesan anakmu)